Welcome to my Blog... :) Cupapacupa...!
With me,, irza :) :)

Minggu, 02 Januari 2011

Jurnal Teori HI, Globalisasi dalam Perspektif Poskolonialisme


Globalisasi dalam Perspektif Poskolonialisme

oleh:
Irza Khurun'in (0911240012)

Abstraksi
               Globalisasi memberikan wacana seolah-olah negara tanpa batas dengan semakin majunya industrialisasi, teknologi informasi dan komunikasi memberikan dampak terhadap budaya-budaya di dunia. Globalisasi menyebabkan homogenitas budaya, bahwa budaya yang baik adalah yang berasal dari Barat. Munculnya globalisasi juga melalui sejarah yang panjang, yang mana hal itu tidak lepas dari adanya kolonialisasi oleh Bangsa Barat terhadap bangsa Timur. Perspektif poskolonialisme yang diwakili oleh tokoh poskolonialisme yaitu Homi Bhabha, yang mana membahas tentang budaya, khususnya hibriditas budaya, memberikan sebuah wacana bahwasanya terdapat suatu hubungan antara fenomena globalisasi seperti yang dewasa ini gencar diperbincangkan dengan perspektif poskolonialisme. Di samping itu ada Franz Fanon  yang terkenal dengan ”Black Skin White Masks” dan Edward Said yang terkenal dengan wacana ”Orientalism”. Jadi, munculnya isu tentang globalisasi juga tidak lepas karena adanya sejarah panjang kolonialisme yang kemudian menimbulkan pespektif poskolonialisme.

Kata kunci: Globalisasi, poskolonialisme, budaya, Homi Bhabha, Fanon, Said.


I. Latar Belakang

Dewasa ini globalisasi menjadi isu global. Banyak dibahas oleh berbagai kalangan. Globalisasi menjadi fenomena yang mendunia. Baik secara ekonomi, politik, maupun budaya. Globalisasi menjadikan negara-negara di dunia seolah-olah tanpa batas (borderless).
Dalam kehidupan seperti saat ini dimana negara seolah-oleh menjadi sebuah ”Global Village”, dan seiring dengan semakin berkembangnya industrialisasi, teknologi informasi dan komunikasi, globalisasi juga kian berkembang pesat. Globalisasi meliputi berbagai aspek kehidupan individu, negara, dan aktor-aktor non-state lainnya. Globalisasi juga memberikan tantangan dan juga janji mengenai kesejahteraan global. Dimana kelebihannya itu menghasilkan sebuah informasi yang lebih efisien, selain itu dapat membantu meningkatkan teknologi-teknologi yang semakin canggih di ranah internasional. Kekurangan globalisasi adalah westernisasi, sehingga hasil kebudayaan negeri kita sendiri akan luntur.
Globalisasi  oleh sebagian masyarakat sering diartikan sebagai gagasan tentang penyeragaman dan standarisasi dunia melalui teknologi, perdagangan dan sinkronisasi budaya dengan budaya  yang berasal dari Barat.[1] Globalisasi sering diidentikkan dengan berbagai hal yang berbau modern. Dan sifat-sifat modern selama ini seringkali dihubungkan dengan Barat. Oleh karena itu, segala seuatu yang berasal dari Barat selalu dianggap sebagai sesuatu yang modern dan global. Hal ini tidak terlepas akan akan ekspansi yang dilakukan oleh negara-negara Barat terhadap negara-negara Timur, atau yang biasa disebut dengan kolonialialisasi.
Akibat adanya kolonialisasi tersebut, muncul teori poskolonialism yang dibangun berdasar  peristiwa sejarah dan pengalaman pahit negara-negara yang dijajah oleh negara-negara lain. Dalam pandangan poskolonialisme dijelaskan mengenai adanya sebuah fakta sejarah terkait kolonialisasi yang dilakukan oleh bangsa-bangsa Barat yang setelah terjadi decolonialisasi, masih berlanjut membentuk hubungan antara Barat dengan non-Barat. Poskolonialisme merupakan intelektual modern yang merupakan reaksi dari dampak yang ditimbulkan oleh kolonialisme.
            Dalam essay kali ini, akan membahas dampak globalisasi terhadap budaya (cultural dimension of globalization) dan hubungannya dengan poskolonialisme budaya. Globalisasi memberikan dampak yang signifikan terhadap budaya di dunia. Dan akibat adanya kolonialisasi pada jaman dahulu yang mana dampaknya masih terasa sampai sekarang. Globalisasi budaya juga tak lepas karena adanya kolonalisasi tersebut. Sehingga antara poskolonialisme dan globalisasi memiliki hubungan yang erat.
Kolonialisasi ini menyebabkan adanya superioritas dan inferioritas. Masyarakat Barat yang pada umumnya adalah penjajah, menganggap dirinya lebih tinggi daripada masyarakat di negara-negara Timur. Sedangkan masyarakat di negara-negara Timur juga tidak menyangkal adanya superioritas bangsa Barat. Hal ini menurut kaum pos kolonialisme terjadi akibat adanya kolonialisasi dalam berbagai bentuk yang kemudian mempengaruhi identitas, pola pikir, dan struktur sosial, yang kemudian terbawa sampai ke masa globalisasi yang semakin mempermudah terjadinya homogenitas budaya dan clashes of civilization..
           
II. Rumusan Masalah
            Dari latar belakang seperti yang telah diuraikan diatas, muncul pertanyaan bagaimana pandangan poskolonialisme terhadap globalisasi, khususnya dalam bidang budaya? Dan bagaimana hubungan negara-negara kolonial terhadap negara-negara yang dijajah?
III. Pembahasan

Definisi Globalisasi
·         Globalisasi refers to the widening, deepening, and speeding up of global interconnectedness.[2]
·         Globalisasi is refers to the compression of the worl and the intensification of consciousness of the world as a whole (R. Robertson. Globalization. 1992, p.8)[3]
·         Berbagai definisi tentang globalisasi bisa ditemukan di berbagai tulisan tentang globalisasi. Tetapi, berbagai definisi tersebut pada dasarnya melihat globalisasi sebagai sebuah proses ke arah globalitas, yakni, a social condition characterized by the existence of global economic, political, cultural, and environmental interconnections and flows that make many of the currently existing borders and boundaries irrelevant[4]

Kata "globalisasi" diambil dari kata global, yang maknanya ialah universal. Globalisasi belum memiliki definisi tertentu, yang dipaparkan seperti diatas merupakan definisi kerja, sehingga pengertian globalisasi tergantung perspektif dari masing-masing individu. Ada yang memandangnya sebagai suatu proses sosial, atau proses sejarah, atau proses alamiah yang akan membawa seluruh bangsa dan negara di dunia makin terikat satu sama lain, mewujudkan satu tatanan kehidupan baru atau kesatuan ko-eksistensi dengan menyingkirkan batas-batas geografis, ekonomi dan budaya masyarakat.[5]
Dalam globalisasi juga mencakup berbagai bidang dalam kehidupan dengan tanpa menghiraukan batas-batas antar negara. Sehingga memudarnya batas-batas antar negara (borderless) menyebabkan sulitnya melakukan pengawasan atas individu atau kelompok yang melakukan aktivitas lintas negara.
  Studi tentang globalisasi, pertama diprakarsai oleh ekonom dan ilmuwan sosial, diikat dengan munculnya ekonomi global, berpijak pada modernisasi, dipicu oleh ekspansi kapitalisme Barat, dan baru-baru ini, terkait dengan munculnya perusahaan-perusahaan transnasional dan proliferasi pasar yang melintasi batas negara-bangsa.[6]
            Terdapat 3 aliran dalam memandang globalisasi. Kaum globalist adalah aliran yang setuju dengan globalisasi dan memandang akan terjadi terjadi homogenitas budaya karena dunia akan semakin mengglobal. Kaum Skeptics  yang cenderung pesimis dengan globalisasi, yang memandang globalisasi hanya akan mengakibatkan ekonomi dunia terfragmentasi, pendapatan tidak merata, dan adanya munculnya cleshes of culture, Americanisation, yang akan menimbulkan konflik, meningkatnya peran nation-state dan fragmentasi dunia. Yang terakhir adalah kaum transformasionalist yang menghubungan dua pendapat dari globalis dan skeptics.
                Dari penjelasan mengenai 3 aliran dalam Globalisasi, dapat ditarik sebuah benang merah bahwa terdapat kesinambungan antara globalisasi dengan perspektif poskolonialisme. Poskolonialisme yang merupakan perspektif mengenani dampak adanya kolonialisasi, hingga saat ini terdapat kolonialisasi modern terbukti dengan adanya globalisasi yang mempermudah terjadinya kolonialisme modern. Jaman kolonialisasi, adanya hubungan negara-negara penjajah dengan yang terjajah, namun yang sekarang adalah hubungan saling ketergantungan secara global antara negara berkembang yang pada jaman dulu sebagai negara terjajah dengan negara maju yang dulunya sebagai negara penajajah (koloni).
Poskolonialisme
            Poskolonialisme merupakan pendekatan yang penting dalam beberapa ilmu diantaranya ilmu budaya, antropologi, dan studi bahasa. Teori postkolonialisme itu sendiri dibangun atas dasar peristiwa sejarah dan pengalaman pahit dijajah oleh bangsa lain. Permasalahan pokok dalam poskolonialisme meliputi kegiatan masyarakat yang melampaui batas negara, isu bangsa dan nasionalisme, dampak chauvinisme budaya sehingga memungkinkan terjadi imperialisme. Poskolonialisme tidak setuju adanya penjajahan atao kolonialisme karena hanya menyebabkan adanya superioritas dan inferioritas.
            Poskolonialisme menunjukkan proses perlawanan dan rekonstruksi oleh negara non-Barat terhadap negara Barat. Teori poskolonialisme mengeksplorasi pengalaman penindasan, perlawanan, ras, gender, representasi, perbedaan, penyingkiran, dan migrasi dalam hubungannya dengan wacana-wacana penguasa Barat mengenai sejarah, filsafat, sains, dan linguistik.[7]
            Dalam teori poskolonialisme terdapat 3 toko yang terkenal. Franz Fanon yang menyoroti dampak kolonialisme dalam bidang psikologis yang juga berdampak pula terhadap budaya. Edward Said, melalui wacananya Orientalisme yang memberikan wacana bahwa Bangsa Barat tidak sama dengan Bangsa Timur, adanya superioritas dan inferioritas, termasuk dalam bidang budaya. Dan Homi Bhabha yang dengan jelas menyoroti tentang budaya yang ada akibat dari kolonialisme Barat terhadap Timur.
            Poskolonialisme menaruh perhatian untuk menganalisis era kolonial, teori poskolonialisme memperjuangkan narasi-narasi kecil, membangkitkan kesadaran bahwa penjajahan bukan semata-mata dalam bentuk fisik melainkan juga secara psikologis yang tidak hanya berdampak dalam segi ekonomi tapi juga dalam hal budaya.
Budaya          
            Budaya menurut Koentjaraningrat pada hakikatnya adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan miliki diri manusia dengan belajar. Kebudayaan dapat diartikan sebagai nilai-nilai (values) yang dianut oleh masyarakat ataupun persepsi yang dimiliki oleh warga masyarakat terhadap berbagai hal. Baik nilai-nilai maupun persepsi berkaitan dengan aspek-aspek kejiwaan/psikologis, yaitu apa yang terdapat dalam alam pikiran. Aspek-aspek kejiwaan ini menjadi penting artinya apabila disadari, bahwa tingkah laku seseorang sangat dipengaruhi oleh apa yang ada dalam alam pikiran orang yang bersangkutan. Sebagai salah satu hasil pemikiran dan penemuan seseorang adalah kesenian, yang merupakan subsistem dari kebudayaan.

Pandangan Poskolonialisme terhadap Globalisasi
            Salah satu akibat adanya Globalisasi yang juga berkaitan dengan poskolonialisme adalah dengan dipakainya bahasa Inggris sebagai bahasa internasional. Mengingat pada jaman dulu Inggris adalah negara koloni yang sangat kuat. Jajahannya ada di mana-mana. Sehingga tak dapat disangkal bahwa budayanya akan ada di setiap negara yang pernah dijajah oleh Inggris.
            Negara-negara Barat yang acapkali selalu gencar dengan indutrialisasi dan modernisasi, dengan pembangunan ekonomi liberal, struktur pemerintahan yang kuat, dan rasa identitas nasional yang kuat. Negara-negara maju cenderung menguasai ekonomi untuk keuntungan negara maju itu sendiri.  Di era globalisasi, munculnya perusahaan multi-nasional, dan kemudian, internet, telah mengubah sistem dunia yang heterogen oleh decentering peran nation-state.
                Postkolonialisme dan globalisasi menawarkan dua pendekatan yang berbeda namun saling berhubungan dalam hal transnasional budaya[8]. Poskolonialisme memandang transanasional budaya dari tingkat lokal ke tingkat yang signifikan berakar dalam karya intelektual postkolonial dan didasarkan pada dekolonisasi dan pembangunan bangsa, dan memnganggap budaya yang tersebar adalah produk Barat. Namun, dalam pandangan globalisasi, transnasional budaya berasal dari transnasional studi yang didasarkan pada kompleks teori disiplin berfokus pada struktur postnational dan budaya yang kemudian disebarluaskan melalui kemajuan teknologi informasi dan komunikasi
            Globalisasi mempengaruhi hampir semua aspek yang ada di masyarakat, termasuk diantaranya aspek budaya. Terjadinya perubahan nilai-nilai sosial pada masyarakat, sehingga memunculkan kelompok semacam kelompok dari luar negeri (Barat) dalam negaranya sendiri, seperti meniru gaya punk, musik pop maupun jazz, dan juga berbagai macam westernisasi dan americanisasi lainnya. Globalisasi sebagai bentuk imperialisme budaya America juga imperialisme budaya Eropa ke negara-negara bekas jajahannya.
Globalisasi sebagai sebuah gejala tersebarnya nilai-nilai dan budaya tertentu keseluruh dunia (sehingga menjadi budaya dunia atau world culture) telah terlihat semenjak lama. Cikal bakal dari persebaran budaya dunia ini dapat ditelusuri dari perjalanan para penjelajah Eropa Barat ke berbagai tempat di dunia ini.[9] Perkembangan globalisasi kebudayaan secara intensif terjadi pada awal ke-20 dengan berkembangnya teknologi komunikasi. Kontak melalui media, seperti internet, televisi, menggantikan kontak fisik sebagai sarana utama komunikasi antarbangsa. Perubahan tersebut menjadikan komunikasi antarbangsa lebih mudah dilakukan yang menyebabkan semakin cepatnya perkembangan globalisasi kebudayaan.
            Dampak negatifnya adanya globalisasi budaya ini adalah banyaknya nilai dan budaya masyarakat yang mengalami perubahan dengan cara meniru atau menerapkannya secara selektif, salah satu contoh dengan hadirnya modernisasi disegala bidang kehidupan, terjadi perubahan ciri kehidupan masyarakat desa di Indonesia yang tadinya kental sekali dengan nilai-nilai gotong royong menjadi individual. Selain itu juga timbulnya sifat ingin serba mudah dan gampang (instant) pada diri seseorang. Pada sebagian masyarakat, juga sudah banyak yang mengikuti nilai-nilai budaya luar yang dapat terjadi dehumanisasi yaitu derajat manusia nantinya tidak dihargai karena lebih banyak menggunakan mesin-mesin berteknologi tinggi.[10]
            Dalam pandangan poskolonialisme, negara-negara berkembang yang telah melalui proses kolonisasi, dekolonisasi, dan postkolonialisme adalah bagian dari sejarah panjang globalisasi. Tahap pertama, pada masa penjajahan yaitu dimana negara koloni memanfaatkan kolonisasi dengan pembangunan modal kepentingan ekspansi sendiri. Dan yang kedua, di era global dan pasar bebas ini, di mana perusahaan multi-nasional di usia-media massa mulai menjamur dan melakukan ekspansi pasar ke negara-negara berkembang, sekaligus menyebarkan budayanya melalui pasar tersebut.
            Konteks penjajah-terjajah dalam fenomena budaya sangat bermacam-macam. Banyak hal yang unik dan menarik yang diungkap melalui teori poskolonialisme. Hegemoni penjajah yang luar biasa, akan menjadi bahan kajian penelitian. Begitu pula persinggungan pluralisme budaya, telah banyak menyuguhkan persoalan etnis, khususnya di daerah rawan konflik.
            Sangat ironi bagi negara-negara berkembang untuk melawan arus globalisasi yang diciptakan bangsa barat yang diawali melalui zaman kolonialisasi, karena di zaman sekarang sangat dibutuhkan persaingan yang sangat ketat. Dan negara-negara berkembang secara ekonomi sudah terperangkap dengan dependensi ekonomi terhadap negara maju. Lebih parah lagi globalisasi ekonomi menuntut partisipasi dalam sistem ekonomi transnasional yang mengancam otonomi dan identitas budaya dari semua-negara bangsa.
            Di satu sisi, perkembangan ekonomi tampaknya terkait dengan investasi di ekonomi global, tapi di sisi lain, globalisasi kontemporer membawa serta sebuah homogenisasi, westernisasi kekuatan budaya yang mengancam otonomi budaya dan identitas negara-bangsa.[11] Melalui sejarah panjang globalisasi ini, globalisasi meberikan tantangan juga janji terhadap negara-negara di dunia.
           
Penjelasan menurut Tokoh Poskolonialisme
            Franz Fanon, tokoh poskolonialisme yang dilahirkan di Fort de-France pada 20 Juli 1925 ini merupakan salah satu yang memberikan wacan mengenai poskolonialisme melalui karyanya “Black Skin White Masks” dan “The Wretched of the Earth”. Melalui karyanya ini, Fanon menyimpulkan bahwa adanya kolonialisasi melahirkan alienasi dan marginalisme psikologis yang sangat hebat. Fanon adalah seorang psikiatri, menggunakan pandangan poskolonialisme untuk menjelaskan efek psikologis yang dialami bangsa kulit hitam sebagai obyek penderita di tengah dominasi kulit putih.
            Kolonialisme kulit putih memberikan dampak inferiority complex yaitu perasaan depended, tidak percaya diri, menyebabkan kemunduran kepribadian, reduksi karakter, dan lost of identity. Karena hal ini, Fanon menyoroti, dampak psikologis yang hebat ini, meski kolonialisme pada jaman sekarang sudah tidak tampak seperti kolonialisme pada jaman dulu, sesungguhnya dampak yang ditinggalkan masih tetap dirasakan sampai saat ini. Apalagi dengan adanya isu globalisasi, seakan seperti melanjutkan kolonialisme klasik ke kolonialisme modern.
            Yang paling terkenal dalam teori poskolonial adalah Edward Said dengan karya Orientalism yang menjadi tonggak berdirinya poskolonialisme. Oerientalisme memberikan wacana bahwa Barat tidaklah sama denga Timur. Disini memberikan pandangan seolah-olah bangsa Barat lebioh superior daripada Timur. Dan bangsa Timur menjadi subjek pasif adanya kolonialisasi Barat.
            Dalam poskolonialisme, selain pemikir Fanon dan Said, juga terkenal Homi Bhabha dengan konsep hibriditas budaya. Homi Bhabha mengembangkan gagasan mengenai studi poskolonial dengan fokus budaya. Bhabha menekankan bahwa apa yang dihadirkan saat ini di dunia merupakan perwujudan representasi dari budaya hybrid (cultural hybridity). Hibriditas tersebut maksudnya adalah asimilasi budaya. Menurut Bhabha sebagai gagasan bahwa identitas dari dijajah dan penjajah secara konstan berubah secara terus menerus dan saling mendukung. Melalui konsep hibriditas ini, yang kemudian dalam globalisasi budaya memunculkan yang disebut homogenitas budaya. Yaitu keseragaman budaya akibat adanya pencampuran budaya, penyerapan budaya barat oleh negara-negara timur.
            Homogenitas budaya sudah terlihat dari peniruan budaya barat. Misal dalam musik, yaitu pemakaian musik pop dan jazz yang mendunia. Dalam bidang makanan, di Indonesia saja sudah terdapat banyak sekali restoran-restoran fast food yang termasuk produk budaya barat yang mengingnkan segalanya serba cepat dan instan. Dalam bidang fashion, jeans sudah menjadi mode pakaian yang dianggap modern dan mengglobal. Rock, punk, dan berbagai macam budaya yang berasal dari Barat yang kemudian seolah-olah tanpa filter masuk ke negara-negara berkembang, seperti Indonesia.


Analisis penulis
            Globalisasi saat ini dapat dikatakan sebagai kolonialisme modern. Kolonialisme negara-negara maju terhadap negara berkembang. Hal itu tidak dapat dipungkiri. Buktinya saja saat ini, tatanan internasional dipegang oleh negara-negara maju. Muncul organisasi-organisasi internasional seperti PBB yang memberikan hak veto dalam pengambilan keputusan terhadap negara maju, yaitu Amerika Serikat, Rusia, RRC, Inggris, Perancis. Kemudian dalam bidang ekonomi terdapat organisasi IMF, yang didalmanya juga di dominasi oleh negara maju. WTO, organisasi tentang hubungan perdagangan antar bangsa diatur didalam WTO. Hingga sekarang muncul yang dinamakan pasar bebas. Di dalam pasar bebas, terjadi persaingan tinggi antara negara maju dengan negara berkembang. Hal itu mengakibatkan negara berkembang yang masih belum maju dalam segi industrinya makan akan kalah bersaing dengan negara maju.
            Globalisasi juga dikenal sebagai fenomena budaya secara luas. Bergerak dari sistem internasional untuk mempelajari globalisasi, kita bergerak dari studi sempit pertukaran ekonomi global atau yang lebih sering disebut sebagai pasar bebas, ke bentuk pertukaran budaya transnasional.
            Di era globalisasi seperti sekarang ini menyebabkan apa yang dinamakan homogenitas budaya atau keseragaman budaya. Budaya yang menentukan identitas individu dalam masyarakat satu negara, yang dikomposisikan dari norma, aturan, yang terbentuk dalam kehidupan sosial. Jiak budaya homogen, maka tidak dapat membedakan budaya negara asal. Menjadikan individu berkurang rasa nasionalismenya.
            Terjadi westernisasi dan Americanisasi. Seperti contoh yang telah diuraikan diatas, yaitu makanan, musik, gaya hidup, dan gaya berpakaian yang cenderung meniru budaya barat. Ekonomi liberal yang saat ini sedang berkembang juga dapat dijadikan sarana keberlangsungan global culture. Dengan membuka pasar berarti membuka kesempatan masuknya budaya karena setiap produk membawa budaya dari negara asal. Hal ini juga akan menimbulkan clashes of civilization. Civilization adalah bentuk terluas dari budaya dan mewakili tingkat identitas yang bisa saja tersebar melewati banyak negara.
            Globalisasi tidak datang sendirinya, namun melalui sejarah yang panjang. Sejarah panjang globalsasi tidak lepas dari masa kolonialisme Barat terhadap bangsa Timur, yang kemudian sekarang berkembang menjadi yang sering disebut dengan negara maju dan negara berkembang.
           
Kesimpulan
            Menurut perspektif poskolonialisme, globalisasi tidak sekedar isu, tapi fenomenanya merupakan fenomena riil, yaitu berupa hibriditas budaya yang menyebabkan homogenitas budaya yang terdapat di era globalisasi akibat adanya kolonialisasi dan dampak kolonialisasi yang dibahas melalui teori poskolonialisme. Poskolonialisme dalam memandang globalisasi adalah globalisasi merupakan jalan untuk negara-negara maju tetap melanggengakan kolonisasinya. Pengaruh-pengaruh negara maju masih terus berlangsung terhadap negara-negara berkembang yang dulunya adlaah negara jajahannya. Sehingga rasa superioritas dan inferioritas yang merupakan dampak psikologis karena kolonialisasi seperti yang dibahas oleh Fanon akan tetap ada.
            Dalam bidang budaya, hubungan antara negara kolonial dengan negara yang dijajah tetap berlanjut dengan adanya masuknya budaya-budaya negara maju ke negara berkembang sebagai bentuk kolonialisasi modern. Globalisasi dengan tanda-tanda memudarnya batas-batas antar negara, semakin majunya teknologi informasi dan komunikasi yang bebas keluar masuk dari satu negara ke negara lain mejembatani keberlangsungan itu, sehingga terjadi homogenitas budaya.


Daftar Pustaka

Buku:
Gunter, Bernhard G., and Hoeven, Rolph van der. 2004. “The Social Dimension of Globalization: A Review of the Literature”. Geneva: Policy Integration Departement World Commission in the Social Dimension  of Globalization International Labour Office.
McLeod, John. 2000. Beginning Colonialism. Manchester University Press : Manchester and New York.
Micklethwait, John dan Adrian Wooldridge. 2007. Masa Depan Sempurna, Tantangan dan Janji Globalisasi (diterjemahkan oleh Samsudin Berlian). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Stigliz, Joseph E. 2002. Globalization and its Discontens. New York: W.W Norton and Company, Inc

Jurnal:
Warsono. 2007. Globalisasi dan Perubahan Budaya
Jay, Paul. 2000. Globalization and The Postcolonial Condition. Modern Language Association


http://www.scribd.com/doc/17144495/MAKALAH-GLOBALISASI (diunduh pada tanggal 30 Desember 2010)
http://www.sociology.emory.edu/globalization/theories03.html  (diunduh pada tanggal 30 Desember 2010)



[1] Warsono. 2007. Globalisasi dan Perubahan Budaya

[2] Kuliah Globalisasi tanggal 1 September 2010. Isuues, Concepts, and Perspektif of Globalization.
[4] Steger, 2003, p. 7
[6] Jay, Paul. 2000. Globalization and The Postcolonial Condition. Modern Language Association
[7] Appignanesi, 1999
[8] Jay, Paul. 2000. Globalization and The Postcolonial Condition. Modern Language Association
[9] Lucian W. Pye, 1966
[10] Lucian W. Pye, 1966

[11] Jay, Paul. 2000. Globalization and The Postcolonial Condition. Modern Language Association

4 komentar:

  1. aku suka sekaliiiiiiiiiiiiiiiiii:) neng:)

    BalasHapus
  2. Saya setuju sekali dengan pemaparan diatas :)

    Bahwasanya kolonialisasi oleh negara2 maju tidaklah berhenti sampai saat ini. dengan adanya globalisasi (khususnya perkembangan tekhnologi internet) tersebutlah mereka menjadikannya sebagai media yang efektiv untuk meneruskan invansinya. Saya melihatn hal inilah yang berbahaya bagi negara yang superior, karena bila sering mengadopsi budaya luar yang superior dan memungkinkan menjadi hibriditas budaya, bagaimana dengan kebudayaan lokal setempat?

    Ilmunya sangat bermanfaat bagi saya :)
    hamasah

    BalasHapus
  3. melihatn hal inilah yang berbahaya bagi negara yang inferior,

    *harusnya inferior

    BalasHapus